SINGKONG ia dipanggil. Manihot esculenta nama aktenya. Saya kira Manihot ini anak Tapanuli, tapi siapa sangka ia berasal dari Amazon. Nenek moyangnya bahkan sudah eksis sejak zaman pra-sejarah mendampingi manusia di belahan selatan benua Amerika. Sejatinya singkong tetap jadi tumbuhan eksotis Amerika Latin, jika saja Columbus tak berlayar ke barat disusul ekspansi kolonialis keparat. Spaniard dan Portugis awalnya menganggap singkong sebagai tanaman primitif, sehingga mereka membawanya keliling dunia untuk asupan pangan rakyat jajahan.
Pada abad ke-16 tibalah singkong di Nusantara.
Kira-kira seperti ini perintah Portugis: “Tos parantos singkongnatos ditanamjoss dimakannyoss!”
Penduduk pribumi walau heran tapi menyanggupi: “Dalavan anam siav boss!”
Demikianlah asal muasal singkong mulai menyebar ke seluruh gugus nusa. Tiba pula ia di Nuhu Evav, atau kini lebih dikenal sebagai Kepulauan Kei di Maluku Tenggara. Warga lokal pun turut gerakan menanam singkong (atau kelak disebut ‘kasbi’ dalam bahasa setempat). Umbi kasbi yang putih mulus setelah dikupas kulitnya tampak menggiurkan. Sayangnya banyak yang tak tahu jika tanaman itu beracun!
Singkong Beracun Jadi Makanan Pokok
Berseri-seri ibu Maria menyambut kedatangan kami di depan rumahnya di Ohoi Loon, Kei Kecil. Tak sengaja kami menemukan lapak enbal buatannya di sisi jalan (enbal adalah makanan khas Maluku Tenggara, kadang disebut juga embal). Kebetulan sekali Ibu Maria dan suami membuat sendiri enbal ini dari resep keluarga, dengan bahan baku yang diambil langsung dari kebun di belakang rumahnya. Apakah bahan bakunya?
Singkong beracun.
Saya tak tahu apakah Portugis sudah mengetahui perbedaan singkong beracun dengan yang tidak pada saat menyebarkannya ke tanah jajahan (berikut dengan cara pengolahannya). Tapi yang jelas penduduk Kei akhirnya berhasil menaklukkan singkong beracun ini dengan menjadikannya makanan pokok. Tak ada informasi apakah sempat ada korban selama proses ‘penemuan’ enbal oleh penduduk Kei. Yang jelas enbal dan olahannya sudah dapat dinikmati tanpa kuatir keracunan.
Ibu Maria dengan senang hati mengajak kami ke kebun belakang rumahnya untuk melihat tanaman kasbi penyambung hidup. Ditunjukkannya pada kami yang mana tanaman beracun dan mana yang tidak. Secara fisik saya melihat tanaman singkong beracun punya batang berwarna gelap dengan bentuk daun lebih ramping dan tajam. Sementara tanaman singkong biasa punya batang berwarna kemerahan dengan bentuk daun lebih lebar.


Enyahlah Kau Racun!
Kasbi yang ditanam biasanya butuh waktu satu tahun untuk masuk masa panen. Umbi tsb kemudian dikupas kulitnya lalu dicuci bersih. Semasa kecil saya paling suka mengunyah potongan umbi singkong yang masih mentah. Rasanya manis dan renyah. Tapi saya baru tahu jika semua umbi singkong sebenarnya mengandung bahan racun sianida! Hanya saja kandungannya berbeda, sehingga ada yang disebut singkong racun karena kandungan senyawa glikosida sianogen linamarin dan metil-linamarin tinggi (dapat menghasilkan 1 gram sianida per 1 kg umbi). Singkong yang ditanam pada musim kering biasanya cenderung punya kandungan racun lebih banyak.
Lalu bagaimana cara membedakan umbi yang beracun atau tidak?
Lihat saja apakah ada perubahan warna pada umbi menjadi kebiruan. Atau gigit saja, kalau terasa pahit segera singkirkan. Lagipula sebenarnya umbi singkong biasa yang dikupas dan dicuci bersih (lalu dimasak) umumnya sudah aman dikonsumsi karena senyawa racun sudah menguap. Beda halnya dengan umbi singkong berkadar racun tinggi yang harus melalui proses tertentu sebelum aman disantap.
Jadi setelah umbi dikupas dan dicuci bersih, kemudian diparut menggunakan parudang (alat parut khusus dari besi). Hasil parutan lalu dikemas dalam wadah kain/karung, sebelum diperas dengan alat tindis (dijepit dengan kayu dan batu selama satu malam). Proses pemerasan ini paling penting untuk mengeluarkan semua racun. Setelah diperas satu malam, ampas umbi parut sudah menjadi tepung yang siap dijemur atau diangin-anginkan. Ibu Maria masih melanjutkan ke proses mengayak tepung supaya hasilnya lebih halus.
Voila, jadilah bahan baku enbal siap olah!


Enbal dan Aneka Olahannya
Enbal yang masih berupa tepung (kadang disebut juga ‘ampas sagu’ meski tak ada keterlibatan sagu) ini sebenarnya sudah layak santap. Tapi tenang, penduduk Kei sudah piawai mengolahnya hingga siap dinikmati. Di antaranya enbal bubuhuk (biasanya dicampur kelapa lalu digoreng/dibakar, disajikan dalam bentuk slice, dan paling nikmat disantap dengan ikan kuah kuning), enbal bunga (berbentuk seperti wafel putih bundar dengan tekstur ringan seperti busa, cocok dijadikan teman minum kopi), enbal lempeng (berbentuk persegi panjang dengan tambahan rasa, mulai cokelat, keju, hingga kacang), enbal swami (mirip embal bubuhuk yang dicampur kelapa, namun dikukus), dll.
Spesialisasi ibu Maria ialah membuat enbal bunga dan enbal kacang. Saya sendiri sempat mencicipi enbal kacang di penjual oleh-oleh di dekat Pelabuhan Tual, namun ternyata hanya buatan ibu Maria yang jadi favorit. Rasanya lebih lezat, teksturnya lebih padat namun tetap renyah dikunyah. Ibu Maria bahkan sempat menunjukkan lempeng besi yang digunakan untuk memanggang enbal kacang. Jadi adonannya dicampur kacang dan sedikit gula, dicetak di lempeng, lalu dipanggang di atas bara.
Sementara enbal bunga yang berbentuk bundar besar ternyata bisa ‘dipotek’ menjadi potongan-potongan kecil berbentuk hati. So sweet pisan! Mungkin bisa dijadikan kode terselubung bagi insan yang sedang berbagi rasa. Saya sempat mencicip ‘potekan’ enbal bunga buatan ibu Maria. Rasanya hambar cenderung kelat/sepat, dengan sedikit after taste masam. Ia memang paling nikmat setelah dicelup ke kopi atau teh kayu manis, berteman pisang kepok goreng, dan jingga matahari terbenam. Beuh!



Sambil mencicipi penganan khas Maluku Tenggara ini (ibu Maria bersikeras memberi kami sample for free meski kami sudah membeli beberapa bungkus), saya sempat bertanya pada ibu Maria apakah jenis kasbi biasa juga bisa digunakan sebagai bahan baku enbal. Ternyata beliau bilang bisa saja, namun kualitas rasa dan tekstur malah kurang mantap dibandingkan enbal dari kasbi beracun.
Pertanyaan lainnya adalah dikemanakan cairan racun yang tertampung dari hasil perasan. Ibu Maria bilang sudah ada yang membeli untuk kebutuhan farmasi. Syukurlah, asal jangan disalahgunakan untuk hal yang tidak-tidak. Yang jelas enbal yang sudah siap santap dijamin sudah bebas racun. Muan bena!*
Disgiovery yours!
*Selamat makan, dalam bahasa Kei


Disclaimer:
Terima kasih kepada mas Faat dan koko Leo yang sudah berbagi foto. May the enbal be with you! ? Baca juga pengalaman kami lainnya selama di Kei Kecil:
Jadi ini seperti tepung tapioka begitu ya Kak? Lalu diolah menjadi beberapa jenis kudapan. Penasaran deh rasanya.
Btw, kita sama, waktu kecil suka makan ubi yang masih mentah. Hahaha.
Enbal kacang paling enak kak *menurutku sih, hehehe* Kalo suka ngopi mungkin bisa coba enbal bunga
Gak nyangka hasil akhirnya gitu yak
Udah semacam waffle aja. Singkong emang enak banget!
Kak gimana rasanya waffle di US, pake topping saos lengkoas jugakah?
wah bentuknya cinta, kayak aku yang penuh cinta :”D
aku baru tau kalo singkong ada yang beracun juga
Iya percaya kok, hahaha!
Gallant, bukannya di tanah Jawa juga banyak singkong beracun? Kalau di daerahku disebutnya singkong karet.