“BAMBU binal?”
Perlu beberapa detik mencerna ajakan teman saya sebelum akhirnya datang pemahaman akan maksud ucapan tsb.
Yang terlintas pertama kali adalah bambu gila, permainan tradisional asal Maluku yang melibatkan unsur mistis. Karena terselip kata ‘binal’ maka yang kemudian terlintas adalah permainan bambu gila yang dimainkan oleh perempuan-perempuan bahenol berbaju minim.
Untung imajinasi saya kembali ke jalan yang benar, dan langsung menemukan padanan kata yang tepat atas pengucapan ‘bambu binal’.
“Oh, maksudnya Bamboo Biennale ya? Let’s go!”
Kota Solo sedang berkelimpahan terik matahari siang itu, namun kaki-kaki kami tak jera melangkah ke Benteng Vastenburg. Sebuah pameran instalasi seni bertema bambu yang digelar setiap 2 tahun sekali sedang mengambil tempat di halaman sekitar benteng.
Bamboo Biennale tajuknya, dan yang penting tak dipungut biaya masuk alias gratis!
Kilas Kisah Bamboo Biennale
Kalau diingat lagi, sejak kecil saya sudah akrab dengan unsur bambu. Saya paling suka mendengar gemersik angin pada rumpun bambu yang ditingkahi derik serangga hutan. Saya paling suka duduk santai di balai-balai bambu sebagaimana Doraemon gandrung memakai baling-baling bambu. Tangga bambu milik ayah yang kerap saya naiki diam-diam meski hanya sampai pijakan kedua (hingga sekarang terkadang saya masih gentar ketinggian).
Bilik bambu dimana saya sempat mengintip adegan binal di balik sana. Pepes ikan atau ayam yang dimasak dalam selongsong bambu. Harum hangat masakan dalam besek bambu. Dst. Dst. Bahkan tilam di kamar saya sekarang juga terbuat dari bambu.
Bambu adalah elemen yang tak asing bagi saya dan masyarakat Indonesia kebanyakan. Namun atas nama modernitas penggunaan bambu pelahan ditanggalkan. Padahal bambu dapat dikatakan sebagai unsur kayu terkuat di bumi (sekaligus lentur). Bambu memiliki kekuatan tarik lebih dari baja ringan (dapat menahan hingga 52.000 pon tekanan psi) dan memiliki rasio berat berbanding kekuatan, melebihi grafit.
Atas dasar inilah gagasan Bamboo Biennale terwujud. Sebagaimana dikutip dari tim kurator: Bamboo Biennale mengambil inisiatif untuk melahirkan kembali kekuatan keterampilan lokal dalam setting global.
Hal ini dilakukan dengan mempertemukan para perajin yang merupakan pewaris tradisi, dengan para arsitek/desainer yang lebih dekat dengan kehidupan kota serta modernitas. Perjumpaan yang saling mengapresiasi potensi dan peran masing-masing. Sebuah penyatuan semangat dan kecintaan serta keahlian yang diharapkan melahirkan kembali desain bambu di Indonesia.
Bagi saya pribadi ini adalah sebuah inisiatif terpuji dan layak mendapat ekspos lebih luas lagi.
Seperti Apa Bamboo Biennale
Walau biaya masuk gratis, namun kita sebaiknya mengisi lembar registrasi dan menyerahkannya kepada mbak-mbak manis yang bertugas. Selanjutnya tinggal nikmati saja aneka instalasi bambu yang terpajang di halaman benteng.
Terdapat setidaknya 15 instalasi atau mungkin lebih (saya lupa menghitung jumlahnya) dengan dimensi beragam, beberapa bahkan bisa dimasuki atau dinaiki oleh pengunjung. Tiap instalasi berbentuk unik dan membuat pengunjung bertanya-tanya apakah ini sampai mereka membaca lembar keterangan yang terpampang pada sebuah tampah.
Ajang Ini Buat Siapa
Senang juga melihat pameran seni yang ramai pengunjung khususnya anak-anak muda. Sebagian besar pelajar berseragam. Tapi tunggu dulu, kebanyakan datang hanya untuk mengambil foto selfie/wefie atau apalah itu. Satu dua pasang duduk mojok berduaan, tak peduli ada pengunjung lain yang mungkin hendak melihat-lihat atau mengambil gambar instalasi.
Mungkin saya memang datang pada saat yang salah karena berbarengan dengan waktu pulang sekolah.
Saya jadi hilang minat untuk menyusuri keseluruhan area. Padahal tiap instalasi punya sudut pandang atau latar belakang menarik. Sebuah instalasi bertema ‘Penjaga Musim Kemarau’ menggambarkan bentuk imajinasi garengpung, serangga hutan yang lengkingannya bagai gesekan dua bilah bambu kering. Ada ‘Rumah Oksigen’ yang menyerupai bangunan rumah terbuat dari bambu.
Yang paling mencolok adalah susunan botol bekas berisi cairan warna-warni yang menjadi salah satu dinding rumah ini. Bisa ditebak, butuh kesabaran untuk masuk ke dalam rumah ini karena banyaknya mereka yang berfoto ala-ala di sini.
Saya tak tahu pasti apakah masyarakat kota Solo pada umumnya menggandrungi acara semacam ini. Tampaknya hanya mereka yang menaruh perhatian pada seni budaya yang berkenan datang, selebihnya mungkin penggiat update status di media sosial. Tapi tak apa, yang penting itikad untuk melestarikan kearifan lokal yang dipadukan dengan teknologi modern mesti mendapat dukungan dan layak dihargai.
Disgiovery yours!
Ini tempatnya instagramable. Sayang gak lihat satupun foto selfie di sini hehehehe.
Hehehe musti antri kalo mau selfie, saingan sama anak2 sekolah 😀
Sayangnya pas acara inis aya tidak ke Solo. Padahal seminggu sebelumnya waktu festival payung saya ke sana 🙁
Masih ada waktu seminggu lagi mas sampai tanggal 30 🙂 Wah festival payung tampak menarik tuh!
namanya agak gimana gitu, pokoknya jangan salah fokus ahahha
keren banget itu kerajinan tangannya.. mantap
Hehehe yang jelas namanya mengundang perhatian, untung hasil karya yang dipamerkan juga keren 🙂
Nih, cocok banget untuk selfie, unik dan jarang ditemuin di daerah lain. nabung dululah biar bisa kesini
Nabung dulu untuk event dua tahun lagi, pasti kesampaian 😉
Keren banget ya instalasi bambu2nya, kok bisa begitu ya bambunya, yang buat nih luar biasa nih orangnya ya mas..
Kreativitas kuncinya, mas! Hehehe, trims sudah mampir 🙂
asli keren bgt itu kerajinan2 bambunya.. mantap 🙂
Momen langka nih cuma 2 tahunan, wajib kunjung! 🙂
Kok dapet pas sepi?! Kamu ke sananya jam berapa, Bang? Sama siapa? #MulaiPosesif
Aku pas ke sana ngga dapet foto bagus. Orang semua. Sedihnyaaa .. 🙁
Lho segini termasuk sepi ya? Hahaha padahal aku bete lho karena banyak banget spot yang dipake selfie atau mojok, mau motret venue jadi butuh effort lebih :/
Kesana sama… kasih tau gak ya…
ketemu lagi tempat unik berikutnya, bisa coba mampir ah..kaya’e seru nih..hhh
Tahun ini bakal diadakan lagi, jangan sampai ketinggalan 😉